Jakarta, 29 September 2025. Radar CNN Online – Setiap 24 September bangsa ini rutin menggaungkan jargon: “Petani adalah pahlawan bangsa.” Namun realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Petani kecil kian terpinggirkan, lahan produktif menyempit, harga hasil panen merugi, sementara kebijakan negara lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dan tengkulak.
Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (BEM PTNU) Se-Nusantara menegaskan bahwa peringatan Hari Tani seharusnya bukan seremoni, melainkan momentum refleksi sekaligus kritik keras terhadap ketidakadilan yang dialami petani.
Data Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat deforestasi Indonesia sepanjang 2024 mencapai ±206 ribu hektar, naik 53 persen dari tahun sebelumnya. Sebanyak 51 ribu hektar hilang akibat ekspansi kelapa sawit. Sementara Kementerian Kehutanan dan BRIN melaporkan deforestasi netto sebesar 175,4 ribu hektar.
“Ini bukan sekadar angka, tapi tragedi pangan. Hutan hilang, sawah tergusur, petani kecil kehilangan tanah dan sumber air. Ironisnya, pemerintah berbicara kedaulatan pangan, tapi justru mengorbankan lahan pangan demi komoditas ekspor,” tegas BEM PTNU.
Di sektor pascapanen, kondisi tak kalah memprihatinkan. Meski Nilai Tukar Petani (NTP) sempat naik ke angka 124,48 pada Maret 2025, bulan berikutnya langsung turun menjadi 121,75. Harga gabah dan beras di tingkat petani terus merosot sejak akhir 2024, membuat pendapatan petani semakin tipis.
“Data boleh tampak membaik, tapi kenyataan di lapangan, isi kantong petani makin menipis. Tengkulak dan rantai distribusi panjang masih jadi pengendali harga, bukan petani itu sendiri,” kritik M. Nadhim Ardiansyah, Direktur Pertanian & Energi BEM PTNU Se-Nusantara.
Kebijakan fiskal pemerintah juga dinilai memperparah keadaan. Sejak 2022, hasil pertanian tertentu dikenakan PPN 11 persen, yang kemudian naik mengikuti tarif umum 12 persen. Walaupun tersedia opsi tarif hanya 1 persen melalui skema nilai lain, syarat administratifnya dinilai memberatkan petani kecil.
“PPN ini ibarat garam di atas luka. Petani yang sudah kalah di harga, masih dituntut menyetor pajak. Negara seolah lupa, petani bukan hanya penyumbang fiskal, tapi penopang utama ketahanan pangan,” ujarnya.
BEM PTNU menegaskan, Hari Tani harus menjadi momentum politik pangan yang nyata, bukan sekadar panggung pidato. Ada tiga tuntutan yang didorong:
Pemerintah harus menghentikan deforestasi yang merampas lahan rakyat.
Mereformasi tata niaga pascapanen agar harga adil di tingkat petani.
Meninjau ulang kebijakan PPN pertanian agar tidak menambah beban.
“Petani tidak butuh julukan pahlawan di baliho atau pidato pejabat. Mereka butuh tanah yang terlindungi, harga panen yang layak, dan kebijakan yang berpihak. Tanpa itu, Hari Tani hanya jadi upacara hampa—peringatan tentang bagaimana bangsa ini pandai memberi gelar, tapi gagal memberi keadilan,” pungkas Nadhim.
Redaksi: Team
Editor: Mnd
Posting Komentar