Rembang, Radar CNN Online — Musyawarah Desa (Musdes) yang digelar di Kantor Desa Sudan, Kecamatan Kragan, pada Sabtu (6/12) pukul 19.00 WIB berakhir ricuh. Agenda musyawarah tersebut membahas penyelesaian polemik penggunaan tanah bengkok oleh seorang perangkat desa bernama Dian untuk usaha pengeringan ikan. Aktivitas itu dikhawatirkan warga dapat mengganggu kesuburan lahan pertanian di sekitarnya.
Musdes dipimpin langsung oleh Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan dihadiri Kepala Desa Sudan, Zubaedi, perangkat desa, lembaga desa, tokoh masyarakat, serta warga setempat. Pada awalnya, rapat berjalan kondusif dengan dialog mengenai penyusunan Peraturan Desa (Perdes) sebagai solusi.
Ketua BPD dalam forum menyampaikan bahwa penyewaan tanah bengkok untuk usaha pengeringan ikan tidak sesuai aturan dan bertentangan dengan ketentuan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dinpermasdes). Ia menegaskan bahwa tanah bengkok wajib difungsikan sebagai lahan pertanian produktif.
Kepala Desa Sudan, Zubaedi, kemudian menekankan bahwa musdes tersebut bertujuan agar Dian mengembalikan penggunaan tanah bengkok yang telah dipakai pihak pengusaha. Keputusan itu, katanya, diambil demi menjaga ketertiban dan kenyamanan masyarakat desa.
Namun, keputusan tersebut ditolak oleh Dian. Ia menilai hasil musyawarah bersifat sepihak dan memojokkan dirinya, serta mengaku tidak diberi ruang untuk menjelaskan solusi terbaik. Dian merasa tertekan dengan keputusan yang diambil dalam musdes.
Situasi memanas ketika Bagas Pamenang, kuasa hukum dari pihak pengusaha, menyampaikan keberatan. Ia menilai musdes berjalan tidak objektif dan tidak memberikan kesempatan kepada pihaknya untuk menyampaikan pendapat, meski telah hadir berdasarkan undangan resmi.
Keributan memuncak saat Bagas berusaha melakukan interupsi.
“Saya datang jauh-jauh untuk berdiskusi. Mengapa kami tidak diberi waktu bicara dan hanya dijadikan penonton? Kalau hanya jadi penonton, untuk apa ada surat undangan?” ujarnya dengan nada tinggi.
Bagas mengaku telah menunggu lebih dari satu jam tanpa diberi kesempatan menyampaikan pandangan. Ketegangannya semakin memuncak ketika rombongan pengelola usaha dianggap “bukan warga desa,” sehingga diminta keluar dari forum. Bagas pun tersinggung dan memilih meninggalkan musdes bersama rombongannya. Kondisi menjadi ricuh hingga akhirnya aparat desa dan tokoh masyarakat terpaksa membubarkan rapat.
Meski diwarnai kericuhan, musdes ditutup dengan doa bersama sebagai upaya menenangkan suasana. Harapannya, persoalan ini dapat diselesaikan secara damai pada kesempatan berikutnya.
Setelah musdes selesai, Kepala Desa, BPD, dan Sekretaris Desa memberikan keterangan kepada wartawan. Namun, salah satu perangkat desa mengaku tidak mengetahui secara jelas awal mula pendirian usaha pengeringan ikan tersebut.
Dari pihak pengelola usaha, Bagas selaku kuasa hukum menegaskan bahwa sejak awal sudah ada kesepakatan dan penandatanganan dokumen oleh berbagai pihak.
Redaksi: Johan & Zaenuri
Posting Komentar